Postingan

Ibu Lia

Ada yang sedang bersedih setiap kali hujan menyapa di tengah kantuk yang melanda, dengan halus angin menuntun kita dalam simulakra. Bermimpi Aku seorang lelaki biasa yang sering terbawa arus angin berhembus, meskipun begitu, aku masih tau bahwa kaki ku selalu sedang di atas tanah, dan setiap jari kakiku mencengkram kuat hingga tiap porinya menghujam dalam hingga meng-erat. Kuat masih ingatanku tentang senyuman seorang ibu dengan kedua anak perempuan lucu yang merengek minta perhatian, "ibu, anak-anaknya lucu dan cantik, siapa namanya?" aku yang duduk dengan sebatang coklat choki gemas bertanya, "Slavina mas, ini anakku yang besar, dan chaca anak ku yang kecil", "wah, mereka lucu ya..." kagum ku pada ke dua anak itu. "ibu hendak kemana?", "kami sedang menju titik itu mas, titik dimana banyak orang bilang bahwa kami akan menemukan kehidupan yang indah" Ucap ibu itu menunjuk pusat cahaya sendja. "bukankah ibu sudah memilikinya

Rapuh

Ranting itu sudah patah siapa yang tak bahagia saat tau bahwa perempuan yang di cintai kini sedang tertawa siapa yang tak senang ketika kabar yang tertiup pada telinga berkata "dia kini tak lagi sedih, tampak senang berselimut tawa yang lebar" di balik semua itu, jelas terselip tangis yang membelingis. sebab memilikimu bukanlah fakta yang sedekitpun tak menepis dan siapa yang sanggup merengkuh realita bahwa semua kini menjadi percuma dan lagi, siapa yang sanggup mengingat kau yang tertawa sedang aku harus berdiam dengan luka yang masih menganga seharusnya kau lebih mampu menunggu seharusnya kau lebih mampu ... seharuanya kau lebih mampu menunggu di dunia ini, kini yang ku tahu hanya tentang duduk tersingkap  di depan tumpukan sampah, atau mungkin di matamu pun aku hanyalah cuilan sampah yang ku tau aku hanya ..... hanya itu saja yang ku tau. rumah yang ku bangun di atas pohon itu kini kosong... dan ranting itu pun me

Obrolan Ingus Tebal

Melamun adalah pekerjaan, sebab dari lamunan banyak kemungkinan-kemungkinan yang muncul lalu menghadapkan kita pada sebuah pilihan jawaban, begitulah ajaran seorang resi pada raja terbilang muda di semesta, seharusnya. "Jika saja raja adalah pemimpin mutlak sebuah pemerintahan, lantas apa sebenarnya yang harus dia lakukan?. ku lihat raja tua itu hanya suka duduk di singgasana, lalu diam dan memandang anak buahnya. Lalu pergi sekedar buang air besar dan kembali di singgasana, apakah itu kerjaan raja?"  Tanya seorang teman padaku yang sedang diam melamun. "Hey jawab lah... bukankah kau ini selalu bijak" "Aish... mengganggu saja kau ini. Kau tahu? aku sedang melamun, berpikir tentang negeri ini" "Hey, memangnya siapa kau ini sampai-sampai memikirkan negeri...? buat makan saja kau kerja setengah mati" "Memangnya hanya raja yang boleh memikirkan negeri? apalagi raja macam yang kau bayangkan. cuma bisa duduk kaya batu. bahkan batu lebi

Kenanga Dalam Amplop Biru

Siang yang terik menjadi berka bagi para pedagang es di pinggiran jalan tempat ku berjalan, di pojok lapangan tampak seorang ibu duduk menangis di bawah beringin besar, memangku anaknya yang pulas terdidur di pangkuan. Angin yang datang tak begitu kencang menyambut hangat leherku yang cukup berkeringat, meski tak sedang mandi, itu cukup memberi efek rasa segar. "Ting ting ting...!!! Es dawet ayu.... !!!" Salah satu penjual es berteriak tanpa ragu, memanggil pelanggan untuk membeli yang ia dagangkan. berulang ia meneriakkan hal yang sama "Mah... Es dawet mah, Adek mau es dawet itu" Pinta anak perempuan pada ibunya selepas terbangun dari tidur pulasnya. Aku yang sedang membeli es dawet melihat anak itu menarik-narik ibunya yang duduk tersipu, sampai aku merasa heran, mengapa ibu itu tak beranjak dan beli sebungkus saja untuk anaknya. "Jangan nak, itu tidak enak" Ujarnya pada anak perempuannya itu, dan semakin menjadi anaknya menangis sebab tak kujun

Kertas Merah di Atas Meja

Di pojok ruang bertembok biru, aku duduk di sebuah kursi rusak tapi tak kehilangan fungsi, menatap layar monitor laptop biru tua yang ku miliki sejak delapan tahun lalu. Di sela-sela waktu aku sering mengintip cerita tentang ini itu, dan masih saja soal cinta melulu. Melati sesekali datang menjelma menjadi diksi, di antara bau apek kaus kaki yang melekat di jari-jari, terutama ibu jari. Sungguh itu lumayan memperindah perasaan ku saat ku jemput tiap huruf, diksi, dan akhirnya kalimat terajut, dan ceritamu menjadi berwujud. “Kau sudah makan?” Tanya seorang perempuan tanpa ku ingat kapan kami berkenalan. Tiba-tiba saja pertanyaan itu datang bersosok perempuan. “Kebetulan belum, mau sekalian bareng ? biasanya aku makan di belakang kampus, warung prasmanan” sambung ku dalam perbincangan sambil berpikir soal siapa gadis ini. “Ingat aku? Aku yang pernah jatuh cinta padamu di masa lalu” “Melati bukan?” Sekedar menebak tanpa tahu apakah itu benar dia meski ragu, sebab ki

Ceritakan Saja Agar Kau Merasa Baik-baik Saja

Berdua Saja Setiap inci waktu merekam percakapan kita, aku dan kamu dalam pandang di antara angin yang perlahan... bertiup hingga menggoyangkan dahan. Ku bayangkan saja seekor tupai memandangi perbincangan kita, duduk di di sela-sela ranting beringin besar yang tumbuh kuat di belakang kursi kayu, tepat di seberang sungai yang bergemericik seolah mendukungku untuk merayu mu. "Jelas tak jauh berbeda dengan monalisa yang terlukis pada kanvas lukisan termahal di dunia itu, senyummu masih saja mengurungku dalam misteri yang cukup membuatku tak tahu, apakah kita ini akan menjadi satu?" "Jelas saja kau bicara begitu, bukankah kau sedang merayu aku, dan jangan pikir kau sedang berhasil mengikatku dalam rayumu" "Tentu tidak, aku tahu persis bahwa kau bukanlah sendja yang mudah memberi rindu pada siang dan pagi, dan aku tahu persis bahwa kau selalu menjadi bulan untuk matahari yang memberimu hidup" "Dan kau memilih menjadi matahari untuk bulan yang k